Kamis, 30 Maret 2017

Reunifikasi Utara - Selatan Semenanjung Korea, Mungkinkah?

Reunifikasi Utara-Selatan Semenanjung Korea, Mungkinkah?
Bukan rahasia lagi bahwa status Utara dan Selatan Semenanjung Korea bukanlah berdamai sepenuhnya, namun gencatan senjata. Itu berarti, sebenarnya mereka masih dalam keadaan perang dan sewaktu-waktu situasi dapat berubah menjadi siaga satu atau siap tempur. Awal mula pecahnya saudara sebangsa ini didalangi oleh Perang Dunia Kedua, dimana Jepang yang ketika itu berdiri sebagai pemilik (penjajah) atas Semenanjung Korea telah dikalahkan oleh Amerika dan seterunya ; Uni Soviet. Kedua belah pihak sepakat bahwa Semenanjung Korea yang secara de facto dimenangkan dari Jepang, dibagi menjadi dua teritorial. Soviet bersama Cina—sekutunya—berhak mendapatkan bagian Utara semenanjung, sedangkan Amerika beserta kawan-kawannya memperoleh bagian Selatan. Ketika itu, Soviet memberikan mandate kepada Kim Il Sung untuk memimpin wilayah Utara. Namun, saat PBB merancang penyatuan kembali, Kim Il Sung menolak patuh dan tetap ingin berdiri sendiri. Disebutkan bahwa Amerika pun diam-diam tidak menyukai ide tersebut karena tetap ingin mencengkeram wilayah Selatan dan menjadikannya investasi persekutuan di masa mendatang.
Sebagaimana Soviet dan Cina yang merupakan penyokong utama keberlangsungan Utara, mereka pun turut menganut paham Komunisme. Sedangkan Selatan yang didukung Amerika beserta sekutu barat lainnya, terseret oleh arus kapitalisme. Utara mendeklarasikan diri sebagai Republik Demokratik Rakyat Korea (selanjutnya disingkat RDRK)dengan pengkultusan Kim Il Sung yang dianggap sebagai Dewa, sedangkan Selatan memilih berdiri sebagai negara demokratis di bawah pimpinan seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Hingga tahun 2017 ini, Utara tetap dikuasai oleh klan Kim, dimana usai kepemimpinan Kim Il Sung, digantikan oleh Kim Jong Il ; puteranya. Dan beberapa tahun terakhir berada di bawah komando sang cucu ; Kim Jong Un. Sementara Selatan sendiri telah melewati banyak pemilu dimana rakyat bebas memilih sendiri presiden mereka.   
Faktor kepempinan dan kiblat negara turut berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan kedua belah pihak. Utara yang begitu bergantung pada Soviet dan Cina, tumbuh sebagai negeri diktator dan salah satu yang paling misterius di dunia. Berbeda dengan negara lain yang hampir seluruh pelosok negerinya terekspos luas dalam foto-foto di mesin pencari internet, jumlah gambar perihal kondisi lingkungan Korea Utara dapat dihitung dengan jari. Hal tersebut diakibatkan larangan pemerintah terhadap turis yang ingin memotret sekitar. Hanya beberapa titik saja turis diperbolehkan memotret, itu pun nantinya akan diperiksa kembali oleh pemandu wisata dan para petugas di Bandara saat hendak meninggalkan negeri tersebut. Kontras dengan Selatan yang memberi kebebasan luas pada wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, untuk mengeksplorasi tanah air tercinta mereka. Jika Utara berfikir bahwa foto-foto wilayahnya dapat digunakan oleh musuh untuk merencanakan titik penyerangan, justru Selatan merasa hal itu dapat menjadi promosi gratis negaranya dan menarik semakin banyak turis untuk datang—yang tentunya dapat mendongkrak devisa melalui sektor pariwisata.
Bukan hanya mengambil gambar yang dibatasi, akses internet di Utara begitu terbatas dan lalu lintasnya diawasi ketat oleh pemerintah. Padahal Selatan justru menjadi salah satu negara dengan kecepatan internet tertinggi di dunia. Kabarnya, ponsel di Utara merupakan barang langka, terlebih smartphone. Ketika Selatan memiliki dua pabrikan elektronik populer di dunia, Samsung dan LG, pengguna ponsel pintar di Utara dapat dihitung dengan jari. Mereka biasanya merupakan pemimpin, atau orang-orang partai dan pengusaha berpengaruh di daratan itu. Tentu, bukan ponsel buatan Selatan maupun Amerika yang mereka pakai—karena takut disadap—melainkan pabrikan Cina. 
Perbedaan pun begitu mencolok dalam bidang militer. Dari waktu ke waktu, Utara tetap saja sibuk memperkokoh kekuatan militer mereka, sedangkan Selatan asyik menyebarkan virus Korean Fever melalui industri hiburan mereka, baik K-Pop maupun drama. RDRK sendiri tercatat sebagai negara dengan jumlah tentara aktif terbanyak di dunia, mencapai 1 juta lebih tentara, disusul 800 ribu cadangan. Sikap Selatan yang begitu terbuka akan negerinya, secara tidak langsung mematahkan pemikiran Utara sendiri bahwa ‘menjadi kuat harus tertutup’. Meski begitu membuka diri, hingga detik ini, Selatan tetap berdiri kokoh dengan hubungan diplomatik bersama negara-negara lain—hal yang dianggap Utara sebagai upaya menjilat. Singkatnya, bagi Utara, militer adalah segalanya, sedangkan Selatan memilih jalur diplomasi sebagai solusinya.
Selanjutnya, jika para wanita Selatan sibuk bersolek, bahkan tidak segan melakukan operasi plastik, kaum hawa di Utara lebih bangga menjadi bagian militer. Perempuan berseragam militer bukan hal aneh di RDRK. Dalam berpakaian keseharian pun, rakyat Utara diwajibkan memakai pin bergambar Kim Il Sung, maupun bendera negara mereka. Tidak lupa, tatanan rambut yang diperbolehkan juga dibatasi oleh pemerintah. Berbeda dengan Selatan yang justru menjadi salah satu kiblat mode dunia dengan gaya stylish yang kerap dipertontonkan melalui para idola K-Pop maupun industri film dan drama mereka.
Tidak ketinggalan soal kemakmuran rakyat Utara yang terus dipertanyakan oleh dunia. Melalui para pembelot Utara yang bertolak ke Selatan, diketahui pemerintah RDRK kerap melakukan propaganda, maupun berbagai doktrin semenjak usia dini terhadap rakyatnya. Mereka, di Utara, bahkan sejak TK, dibiasakan untuk menyanyikan himne pujian terhadap Klan Kim. Lalu secara berkelanjutan, diberi mata pelajaran khusus perihal Sang Penguasa. Diceritakan bahwa tidak jarang, mereka diberitahu jika kehidupan di Selatan begitu menderita akibat dijajah oleh kapitalis. Demi mendukung cerita, pemerintah Utara yang mencengkeram pers dan menghilangkan kebebasan media pun menyiarkan berita-berita palsu perihal situasi Selatan yang tidak kondusif dan menegaskan rakyat mereka harus bersyukur tinggal di Utara yang ‘damai’ dari kerusuhan. Akibat ijin ke luar negeri serta akses internet dan berita yang dibatasi, rakyat tidak dapat mengonfirmasi kebenaran yang sesungguhnya. Utara pun kerap membangun gedung-gedung pencakar langit nan megah sebagai pencitraan bahwa kondisi ekonomi mereka stabil, padahal bangunan itu hanya digunakan sebagai media pertunjukan dan dibiarkan kosong melompong. Mereka bahkan tidak segan mengundang media internasional untuk memotret beberapa titik yang telah dipoles jauh berbeda dengan kondisi sebenarnya. Ketimpangan sikap pemerintah Utara ini membuat kelaparan rakyat yang meluas serta korupsi pejabat merajalela. Namun, Utara seolah tidak peduli dan terus fokus menguatkan militer mereka. Kondisi ini lantas meningkatkan tingkat pembelotan rakyat yang merasa lelah dan memilih kabur ke Selatan, meski jalur yang dilewati tidak mudah dan mempertaruhkan nyawa. Mereka yang ingin ke Utara, haruslah pergi ke Cina (Tiongkok) terlebih dulu, baru menuju Selatan. Namun, bila sampai tertangkap oleh polisi negeri tirai bambu yang pada hakikatnya sekutu Utara tersebut, mereka akan langsung dideportasi kembali ke asalnya.
Namun, bukan berarti Utara tidak memiliki nilai positif. Masyarakat Utara diketahui begitu menjunjung tinggi adat ketimuran yang telah terkikis di Selatan. Di negeri terkucil itu, pernikahan serta kelahiran diawasi demi menghindari ‘kecelakaan’ yang dianggap aib tidak termaafkan. Berbeda dengan Selatan yang terbuai dengan lifestyle barat, dimana pasangan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan pun menjadi hal biasa.
Lalu, mungkinkah reunifikasi terjadi? Jawabannya, mungkin. Dengan catatan, Klan Kim harus tumbang. Para pembelot yang kini hidup damai di Selatan mengatakan bahwa saat ini, tingkat kepercayaan rakyat Utara terhadap pemerintahnya semakin menurun. Bila Klan Kim tumbang dan mereka dapat melihat kebenaran situasi di Selatan, diyakini reunifikasi dapat terwujud. Sayang, menumbangkan Klan Kim yang telah berjaya selama tiga generasi bukanlah hal mudah. Utara masih mendapat sokongan dari Rusia—reinkarnasi Soviet—dan juga Cina. Selama kedua negara pendukung tidak berkehendak, sulit memporandakan kekuasaan Klan Kim. Penyatuan Semenanjung Korea pada hakikatnya bukan melibatkan Korea dan Utara saja, namun harga diri Blok Timur (Soviet & Cina) melawan Blok Barat (Amerika cs). Biang kerok yang membuat Semenanjung Korea terpisah, masih memegang kendali atas penyatuan tersebut. Selama Blok Timur tidak berhenti memberi kucuran dana maupun fasilitas terhadap Utara yang untuk menyukseskan program nuklir RDRK yang acap kali menimbulkan kecemasan meletusnya Perang Dunia Ketiga, maka status ‘gencatan senjata’ tidak akan pernah berubah menjadi ‘aman’.
Pihak Selatan sendiri beberapa kali mengutarakan niat reunifikasi, baik melalui upaya diplomasi yang nyata, maupun menggarap film maupun drama perihal upaya penyatuan semenanjung Korea ini. Namun, beberapa kali pula pemerintah Klan Kim berusaha menggagalkan upaya-upaya itu. Sabotase paling gila yang pernah dilakukan pemerintah Utara adalah pembangunan diam-diam terowongan di bawah jalur DMZ (Demolition Military Zone—Zona Bebas Militer) yang menuju Selatan. Pembangunan itu bertujuan membuat jalur gerilya bagi militer Utara untuk menggempur Selatan. Namun dalam prosesnya tertangkap basah oleh pihak Selatan, sehingga rencana tersebut gagal. Agen intelejen Utara pun pernah melakukan pembajakan Korean Airlines yang menewaskan banyak nyawa. Upaya pembunuhan terhadap pemimpin Selatan pun tidak terhitung jumlahnya. Diakui dunia, kemampuan agen intelejen RDRK memiliki kemampuan tinggi, berkat penempaan keras selama masa pelatihan mata-mata.
Tentu, akan menyenangkan bila reunifikasi Semenanjung Korea dapat benar-benar terwujud. Bagaimanapun, hakikatnya, mereka adalah satu bangsa, memiliki histori yang sama. Semoga lekas terwujud, ya.
30 Maret 2017,

Ayra.

0 komentar:

Posting Komentar