Reunifikasi Utara-Selatan Semenanjung Korea, Mungkinkah?
Bukan
rahasia lagi bahwa status Utara dan Selatan Semenanjung Korea bukanlah berdamai
sepenuhnya, namun gencatan senjata. Itu berarti, sebenarnya mereka masih dalam
keadaan perang dan sewaktu-waktu situasi dapat berubah menjadi siaga satu atau
siap tempur. Awal mula pecahnya saudara sebangsa ini didalangi oleh Perang
Dunia Kedua, dimana Jepang yang ketika itu berdiri sebagai pemilik (penjajah)
atas Semenanjung Korea telah dikalahkan oleh Amerika dan seterunya ; Uni
Soviet. Kedua belah pihak sepakat bahwa Semenanjung Korea yang secara de facto
dimenangkan dari Jepang, dibagi menjadi dua teritorial. Soviet bersama
Cina—sekutunya—berhak mendapatkan bagian Utara semenanjung, sedangkan Amerika
beserta kawan-kawannya memperoleh bagian Selatan. Ketika itu, Soviet memberikan
mandate kepada Kim Il Sung untuk memimpin wilayah Utara. Namun, saat PBB
merancang penyatuan kembali, Kim Il Sung menolak patuh dan tetap ingin berdiri
sendiri. Disebutkan bahwa Amerika pun diam-diam tidak menyukai ide tersebut
karena tetap ingin mencengkeram wilayah Selatan dan menjadikannya investasi
persekutuan di masa mendatang.
Sebagaimana
Soviet dan Cina yang merupakan penyokong utama keberlangsungan Utara, mereka
pun turut menganut paham Komunisme. Sedangkan Selatan yang didukung Amerika
beserta sekutu barat lainnya, terseret oleh arus kapitalisme. Utara
mendeklarasikan diri sebagai Republik Demokratik Rakyat Korea (selanjutnya
disingkat RDRK)dengan pengkultusan Kim Il Sung yang dianggap sebagai Dewa,
sedangkan Selatan memilih berdiri sebagai negara demokratis di bawah pimpinan
seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Hingga tahun 2017 ini,
Utara tetap dikuasai oleh klan Kim, dimana usai kepemimpinan Kim Il Sung,
digantikan oleh Kim Jong Il ; puteranya. Dan beberapa tahun terakhir berada di
bawah komando sang cucu ; Kim Jong Un. Sementara Selatan sendiri telah melewati
banyak pemilu dimana rakyat bebas memilih sendiri presiden mereka.
Faktor
kepempinan dan kiblat negara turut berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan
kedua belah pihak. Utara yang begitu bergantung pada Soviet dan Cina, tumbuh
sebagai negeri diktator dan salah satu yang paling misterius di dunia. Berbeda
dengan negara lain yang hampir seluruh pelosok negerinya terekspos luas dalam
foto-foto di mesin pencari internet, jumlah gambar perihal kondisi lingkungan
Korea Utara dapat dihitung dengan jari. Hal tersebut diakibatkan larangan
pemerintah terhadap turis yang ingin memotret sekitar. Hanya beberapa titik saja
turis diperbolehkan memotret, itu pun nantinya akan diperiksa kembali oleh
pemandu wisata dan para petugas di Bandara saat hendak meninggalkan negeri
tersebut. Kontras dengan Selatan yang memberi kebebasan luas pada wisatawan,
baik lokal maupun mancanegara, untuk mengeksplorasi tanah air tercinta mereka.
Jika Utara berfikir bahwa foto-foto wilayahnya dapat digunakan oleh musuh untuk
merencanakan titik penyerangan, justru Selatan merasa hal itu dapat menjadi
promosi gratis negaranya dan menarik semakin banyak turis untuk datang—yang
tentunya dapat mendongkrak devisa melalui sektor pariwisata.
Bukan
hanya mengambil gambar yang dibatasi, akses internet di Utara begitu terbatas
dan lalu lintasnya diawasi ketat oleh pemerintah. Padahal Selatan justru menjadi
salah satu negara dengan kecepatan internet tertinggi di dunia. Kabarnya,
ponsel di Utara merupakan barang langka, terlebih smartphone. Ketika Selatan memiliki dua pabrikan elektronik populer
di dunia, Samsung dan LG, pengguna ponsel pintar di Utara dapat dihitung dengan
jari. Mereka biasanya merupakan pemimpin, atau orang-orang partai dan pengusaha
berpengaruh di daratan itu. Tentu, bukan ponsel buatan Selatan maupun Amerika
yang mereka pakai—karena takut disadap—melainkan pabrikan Cina.
Perbedaan
pun begitu mencolok dalam bidang militer. Dari waktu ke waktu, Utara tetap saja
sibuk memperkokoh kekuatan militer mereka, sedangkan Selatan asyik menyebarkan
virus Korean Fever melalui industri
hiburan mereka, baik K-Pop maupun drama. RDRK sendiri tercatat sebagai negara
dengan jumlah tentara aktif terbanyak di dunia, mencapai 1 juta lebih tentara,
disusul 800 ribu cadangan. Sikap Selatan yang begitu terbuka akan negerinya,
secara tidak langsung mematahkan pemikiran Utara sendiri bahwa ‘menjadi kuat
harus tertutup’. Meski begitu membuka diri, hingga detik ini, Selatan tetap
berdiri kokoh dengan hubungan diplomatik bersama negara-negara lain—hal yang
dianggap Utara sebagai upaya menjilat. Singkatnya, bagi Utara, militer adalah
segalanya, sedangkan Selatan memilih jalur diplomasi sebagai solusinya.
Selanjutnya,
jika para wanita Selatan sibuk bersolek, bahkan tidak segan melakukan operasi
plastik, kaum hawa di Utara lebih bangga menjadi bagian militer. Perempuan
berseragam militer bukan hal aneh di RDRK. Dalam berpakaian keseharian pun,
rakyat Utara diwajibkan memakai pin bergambar Kim Il Sung, maupun bendera
negara mereka. Tidak lupa, tatanan rambut yang diperbolehkan juga dibatasi oleh
pemerintah. Berbeda dengan Selatan yang justru menjadi salah satu kiblat mode
dunia dengan gaya stylish yang kerap
dipertontonkan melalui para idola K-Pop maupun industri film dan drama mereka.
Tidak
ketinggalan soal kemakmuran rakyat Utara yang terus dipertanyakan oleh dunia.
Melalui para pembelot Utara yang bertolak ke Selatan, diketahui pemerintah RDRK
kerap melakukan propaganda, maupun berbagai doktrin semenjak usia dini terhadap
rakyatnya. Mereka, di Utara, bahkan sejak TK, dibiasakan untuk menyanyikan
himne pujian terhadap Klan Kim. Lalu secara berkelanjutan, diberi mata pelajaran
khusus perihal Sang Penguasa. Diceritakan bahwa tidak jarang, mereka diberitahu
jika kehidupan di Selatan begitu menderita akibat dijajah oleh kapitalis. Demi
mendukung cerita, pemerintah Utara yang mencengkeram pers dan menghilangkan
kebebasan media pun menyiarkan berita-berita palsu perihal situasi Selatan yang
tidak kondusif dan menegaskan rakyat mereka harus bersyukur tinggal di Utara
yang ‘damai’ dari kerusuhan. Akibat ijin ke luar negeri serta akses internet
dan berita yang dibatasi, rakyat tidak dapat mengonfirmasi kebenaran yang
sesungguhnya. Utara pun kerap membangun gedung-gedung pencakar langit nan megah
sebagai pencitraan bahwa kondisi ekonomi mereka stabil, padahal bangunan itu
hanya digunakan sebagai media pertunjukan dan dibiarkan kosong melompong.
Mereka bahkan tidak segan mengundang media internasional untuk memotret
beberapa titik yang telah dipoles jauh berbeda dengan kondisi sebenarnya.
Ketimpangan sikap pemerintah Utara ini membuat kelaparan rakyat yang meluas
serta korupsi pejabat merajalela. Namun, Utara seolah tidak peduli dan terus
fokus menguatkan militer mereka. Kondisi ini lantas meningkatkan tingkat
pembelotan rakyat yang merasa lelah dan memilih kabur ke Selatan, meski jalur
yang dilewati tidak mudah dan mempertaruhkan nyawa. Mereka yang ingin ke Utara,
haruslah pergi ke Cina (Tiongkok) terlebih dulu, baru menuju Selatan. Namun,
bila sampai tertangkap oleh polisi negeri tirai bambu yang pada hakikatnya
sekutu Utara tersebut, mereka akan langsung dideportasi kembali ke asalnya.
Namun,
bukan berarti Utara tidak memiliki nilai positif. Masyarakat Utara diketahui
begitu menjunjung tinggi adat ketimuran yang telah terkikis di Selatan. Di
negeri terkucil itu, pernikahan serta kelahiran diawasi demi menghindari
‘kecelakaan’ yang dianggap aib tidak termaafkan. Berbeda dengan Selatan yang
terbuai dengan lifestyle barat,
dimana pasangan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan pun menjadi hal biasa.
Lalu, mungkinkah
reunifikasi terjadi? Jawabannya, mungkin. Dengan catatan, Klan Kim harus
tumbang. Para pembelot yang kini hidup damai di Selatan mengatakan bahwa saat
ini, tingkat kepercayaan rakyat Utara terhadap pemerintahnya semakin menurun.
Bila Klan Kim tumbang dan mereka dapat melihat kebenaran situasi di Selatan,
diyakini reunifikasi dapat terwujud. Sayang, menumbangkan Klan Kim yang telah
berjaya selama tiga generasi bukanlah hal mudah. Utara masih mendapat sokongan
dari Rusia—reinkarnasi Soviet—dan juga Cina. Selama kedua negara pendukung
tidak berkehendak, sulit memporandakan kekuasaan Klan Kim. Penyatuan
Semenanjung Korea pada hakikatnya bukan melibatkan Korea dan Utara saja, namun
harga diri Blok Timur (Soviet & Cina) melawan Blok Barat (Amerika cs).
Biang kerok yang membuat Semenanjung Korea terpisah, masih memegang kendali
atas penyatuan tersebut. Selama Blok Timur tidak berhenti memberi kucuran dana
maupun fasilitas terhadap Utara yang untuk menyukseskan program nuklir RDRK
yang acap kali menimbulkan kecemasan meletusnya Perang Dunia Ketiga, maka
status ‘gencatan senjata’ tidak akan pernah berubah menjadi ‘aman’.
Pihak
Selatan sendiri beberapa kali mengutarakan niat reunifikasi, baik melalui upaya
diplomasi yang nyata, maupun menggarap film maupun drama perihal upaya
penyatuan semenanjung Korea ini. Namun, beberapa kali pula pemerintah Klan Kim
berusaha menggagalkan upaya-upaya itu. Sabotase paling gila yang pernah
dilakukan pemerintah Utara adalah pembangunan diam-diam terowongan di bawah
jalur DMZ (Demolition Military Zone—Zona Bebas Militer) yang menuju Selatan.
Pembangunan itu bertujuan membuat jalur gerilya bagi militer Utara untuk
menggempur Selatan. Namun dalam prosesnya tertangkap basah oleh pihak Selatan,
sehingga rencana tersebut gagal. Agen intelejen Utara pun pernah melakukan
pembajakan Korean Airlines yang menewaskan banyak nyawa. Upaya pembunuhan
terhadap pemimpin Selatan pun tidak terhitung jumlahnya. Diakui dunia,
kemampuan agen intelejen RDRK memiliki kemampuan tinggi, berkat penempaan keras
selama masa pelatihan mata-mata.
Tentu,
akan menyenangkan bila reunifikasi Semenanjung Korea dapat benar-benar
terwujud. Bagaimanapun, hakikatnya, mereka adalah satu bangsa, memiliki histori
yang sama. Semoga lekas terwujud, ya.
30 Maret
2017,
Ayra.
0 komentar:
Posting Komentar