Jumat, 02 Maret 2018

#MeToo

Saya menyimpan kejadian ini selama dua belas tahun lamanya, terutama dari keluarga. Hingga detik ini, hanya kakak tertua saya yang mengetahui insiden tersebut, sedangkan anggota keluarga saya yang lain sama sekali tidak. Ya, saya adalah salah satu korban dari tindakan pelecehan seksual. Insiden itu terjadi saat saya masih duduk di bangku kelas dua/delapan SMP. Saat saya masih berusia tiga belas tahun.
[* sedikit penjelasan, saya masuk sekolah lebih awal setahun dari sebaya saya. Makanya teman-teman seangkatan saya satu-dua tahun lebih tua.]

Ketika itu, saya sudah setahun resmi merintis karir sebagai seorang atlet bela diri. Sebelum kejadian itu terjadi, saya sebenarnya sudah dijadwalkan mengikuti seleksi Pra-PON untuk cabang bela diri pencak silat kelas F putri. Pelatih / coach saya berusia kurang lebih kepala lima, seumuran dengan Ayah saya—pada saat itu, karena sekarang Ayah saya sendiri sudah hampir memasuki usia kepala tujuh. Beliau merupakan seseorang yang sangat dihormati di bidang tersebut di kota kelahiran saya. Beliau kebapakan dan saya sudah mengenal beliau sejak kelas empat SD (*pada masa awal saya bergabung sebagai anggota). Beliau selalu memperlakukan saya dengan baik, seperti anaknya sendiri. Beberapa orang sudah menganggap hal itu agak tidak lazim, karena terlihat jelas saya diistimewakan, tetapi saya toh tidak punya pikiran seperti itu.


Saat saya SMP, beliau bilang melihat potensi saya menjadi atlet, sebab itu beliau memasukkan saya ke dalam pelatihan atlet. Selain berlatih di sekolah, di mana beliau juga bertindak sebagai pengajar ekstra kurikuler bela diri di sana, saya juga menjalani training seminggu dua sampai tiga kali di luar sekolah. Pada awalnya, orang tua saya sempat menentang keras karena mereka ingin saya fokus saja pada akademis. Tetapi karena saya memang menyukainya (*mungkin jauh di dasar diri saya banyak amarah yang harus saya lampiaskan, makanya saya merasa bisa melampiaskannya melalui media  bela diri—meskipun sebenarnya tujuan ini sangat salah) maka saya berkeras. Saya diberi izin asalkan nilai akademis saya tetap bagus. Kalau tidak, saya harus meninggalkan pelatihan atlet tersebut.

Saya menyanggupi dan membuktikan tidak ada masalah pada tahun pertama di mana saya bisa masuk tiga besar peringkat di sekolah dan juga menjadi runner up Kejuaraan Daerah pada saat bersamaan. Sampai titik itu, saya merasa semua akan baik-baik saja. Saya yang pada dasarnya tidak menyukai pendidikan formal, memenuhi janji kepada orang tua yang selalu mengutamakan perolehan rangking akademis di sekolah, lalu bisa melampiaskan stres dan segala macam tekanan akan hal tersebut melalui latihan demi latihan keras saat bela diri. Saya pikir, itu jalan terbaik supaya memiliki kehidupan yang balance. Meskipun dari sana, kemudian saya, di usia semuda itu, menyadari bahwa banyak fake person di dunia ini yang berteman hanya karena ada niatan tertentu. Tapi saya tidak masalah pada saat itu, karena toh saya juga tidak terlalu friendly dengan orang lain.

Sampai kemudian, memasuki awal tahun kedua. Jadwal latihan diperketat, karena coach saya sudah memilih saya untuk mengikuti seleksi Pra-PON. Beliau bilang, kalau berjalan mulus, saya akan bisa mengikuti PON, bahkan kompetisi yang lebih besar. Siapa sih yang tidak akan tergiur? Terutama mengingat saya tipikal orang yang ambisius ketika mengerjakan sesuatu. Saya setuju. Frekwensi latihan meningkat dan meskipun lelah karena sekolah saya bersistem full day school, di mana masuk pukul setengah tujuh pagi sampai empat sore, saya tetap mengikuti latihan pukul lima sore sampai tujuh malam.

Tapi, manusia hanya berencana, ‘kan? Tuhan berkata lain. Ketika jadwal pertandingan semakin dekat, ada malam inagurasi untuk semua yang mengikuti ekstra kurikuler bela diri di sekolah, terutama para atlet, dan dijadwalkan menginap di sekolah. Sifatnya sebenarnya tidak wajib dan tidak ada guru dari sekolah yang mendampingi. Hanya coach dan asistennya, yang keduanya sama-sama laki-laki. Waktu saya menyampaikan soal acara itu kepada orang tua, mereka melarang saya ikut. Mereka tidak merasa aman kalau pengajar di sekolah tidak mendampingi. Dan seperti biasa, saya membantah. Saya tetap kukuh berangkat dan akhirnya mereka menyerah.

[*tetapi kemudian saya benar-benar menyesali sikap saya dan merasa saya seharusnya mendengarkan orang tua saya, sejak semula.]

Malam itulah, peristiwa yang menghantui saya seumur hidup terjadi. Saya tidak ada pikiran buruk ketika beliau masuk ke ruang tidur peserta putri, karena di sana ada sekitar 30 anak perempuan lain bersama saya. Kami tidur di bawah, pakai karpet (*mau mengharapkan fasilitas yang seperti apa untuk acara yang bahkan tidak dijadwalkan secara resmi oleh sekolah!?). Beliau tidur di pojok, dekat sekali sebenarnya dengan pintu masuk. Dua teman seangkatan saya berbaring tepat di samping beliau. Saya yakin, tidak seorang pun juga berpikir negatif akan beliau. Saat itu, beliau hanya bilang, ruang tidur anak putra terlalu berisik, sedangkan beliau butuh istirahat.

Saya sudah mengalami masalah insomnia sejak kelas 4 SD. Jadi waktu tidur saya sangat sedikit. Sekitar 3-4 jam saja sehari, kecuali saya benar-benar terlalu lelah secara fisik, baru saya mudah tertidur. Meskipun begitu, saya cukup mudah juga terbangun oleh suara-suara atau gerakan. Dan malam itu, saya sedang sangat kelelahan, jadi sekitar pukul sepuluh atau sebelas, saya sudah tidur. Kemudian, saya terbangun karena merasakan gerakan yang aneh. I mean… bibir saya rasanya basah dan seseorang seperti sedang mencengkeram dagu saya. Ketika saya membuka mata, he did it to me!

Saya syok, gemetaran, dan pikiran blank. Saya sudah cukup besar untuk mengerti tindakan apa yang coba dia lakukan dan saya mencoba memberontak. Dan apa yang dia katakan?

“Awas kalau kamu sampai berani macam-macam.”

Seseorang yang saya hormati seperti seorang Ayah, seorang coach yang tahu bertarung dengan baik, laki-laki yang jelas punya kekuatan jauh melebihi saya. Apa yang harus saya lakukan? Saya tidak berani berteriak, padahal di sana banyak orang yang lain. Dan saya juga tidak yakin mereka semua yang ada di dalam ruangan tertidur. Bajingan itu kemudian mencoba melakukan hal yang lebih jauh.

Tetapi pada saat itu, pintu terbuka dan dua orang teman saya yang tadinya ada tepat di samping beliau masuk. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan langsung lari ke luar. Pikiran saya hanya menghampiri salah satu guru konseling yang tinggalnya tidak jauh dari sekolah. Beliau cukup dekat juga dengan saya. Dengan rasa takut yang luar biasa hebat setelah kejadian tersebut saya berusaha untuk mempertahankan akal sehat saya. Hal yang sulit untuk dilakukan, tetapi saya tahu saya harus bisa.

Sekitar hampir subuh, saya sampai di tempat guru konseling saya. Beliau terkejut bukan main karena saya ke sana dengan mungkin keadaan yang tidak karuan. Barang-barang saya saja masih tertinggal di sekolah. Saya menceritakan detail kejadian tersebut dan beliau berjanji akan mendiskusikannya dengan pihak sekolah, karena bagaimanapun coach saya bukan orang sembarangan di kota itu. Saya percaya.

Tapi, apa yang terjadi kemudian? Gosip menyebar luas kalau saya memfitnah coach itu karena marah setelah ditegur, di mana saya sebelumnya tidak pernah sekalipun dimarahi olehnya. Dunia saya terasa runtuh. Tidak ada saksi, tidak ada bukti, dan semua orang menuding saya sebagai seorang pemfitnah. Bagaimana bisa mereka berpikir saya mengarang sesuatu yang sekaligus juga merupakan aib untuk saya sebagai korban? Di mana akal sehat mereka?

Kepala Sekolah dan para staf pengajar mengatakan mereka memercayai saya, tetapi tidak dengan rekan-rekan sejawat saya yang lain. Bayangkan saja rasanya, saya dimusuhi oleh seisi sekolah karena mengarang cerita menjadi korban pelecehan seksual! Dipikir dengan logika macam apa pun, apa masuk akal kalau saya sampai mengarang kisah sedahsyat itu hanya karena merasa marah akibat ditegur? Pada akhirnya, saya kalah. Saya depresi berat dan sempat menolak masuk sekolah sampai akhirnya kakak tertua saya bicara dengan saya yang tidak berani mengatakan hal tersebut kepada orang tua.

Tetapi saat itu juga, kondisi kesehatan kedua orang tua saya sedang kurang baik. Kakak tertua saya—entah itu keputusan yang benar untuk dilakukan atau tidak—memutuskan merahasiakan dari mereka dan datang ke sekolah sebagai wali saya akan hal tersebut. Sekolah tidak bisa memecatnya karena tidak ada bukti yang mendukung, apalagi saksi. Semua orang justru memberatkan saya. Tetapi mereka hanya memberikan kelonggaran—yang menurut saya sama sekali bukan solusi—bahwa saya boleh tidak mengikuti ekstra kurikuler bela diri yang sebenarnya bersifat wajib di sekolah saya.

Tidak lama kemudian, kandidat lain untuk seleksi Pra-PON yang seharusnya saya ikuti terpilih. Masih dari sekolah saya. Seorang teman seangkatan saya yang sebelumnya selalu saya kalahkan pada sesi penyisihan. DAN DIA ADALAH SALAH SATU DARI DUA ORANG YANG SEMULA TIDUR DI SAMPING COACH PADA MALAM INSIDEN ITU TERJADI. Saya merasa seperti dikhianati bertubi-tubi. Maaf saya merendahkan dia, tapi dia bahkan tidak memenuhi kualifikasi untuk maju sebagai kontingen. Tapi, saya bisa apa?

Sejak itu, saya hanya bisa menjalani sisa masa SMP saya dalam mimpi buruk. Nilai akademis? Saya sudah tidak peduli lagi. Sejauh saya naik kelas, selama saya bisa lulus dari neraka dunia itu, saya tidak mau berpikir banyak lagi. Beberapa kali, saya secara tidak sengaja berpapasan dengan dia. Dan gilanya, ketika saya gemetaran, dia justru tersenyum tanpa dosa. Saat itu juga saya belajar bahwa orang yang paling mengerikan di dunia ini bukan mereka yang menghunuskan pedangnya di depan kita, tetapi justru mereka yang tersenyum di depan tapi bersiap menikam dari belakang.

Saya tidak akan pernah bisa memaafkan dia maupun orang-orang yang mendukungnya pada saat itu. Tidak, saya membenci semua orang. Bahkan kota itu. Karenanya, setelah lulus, saya bersikukuh melanjutkan sekolah di luar kota. Sendirian. Padahal usia saya saja baru 14 tahun dan selalu malas setiap akhir pekan harus kembali ke sana.

Selama dua belas tahun, saya menyimpan trauma itu. Orang mungkin berpikir bahwa pengalaman saya bukan sesuatu yang besar. Mereka tidak tahu betapa saya membenci diri sendiri. Merasa tidak layak untuk siapa pun. Saya bisa menjalin hubungan, tetapi pada akhirnya tidak pernah mencapai tahap serius, padahal usia saya sudah lebih dari cukup untuk hal tersebut. Saya tidak bisa menceritakan hal ini kepada salah satu dari mereka, lalu bagaimana kalau suatu saat mereka mengetahuinya dari orang lain? Kontak fisik atau apa pun itu, bagi saya hal yang tidak menyenangkan. Pun, meski menyaksikannya di film atau drama yang saya tonton, saya lebih merasa risih dan sangat tidak nyaman. Bagaimana saya bisa menjalin hubungan serius jika seperti itu situasinya?

Tapi sekarang, membaca tentang gerakan #MeTooMovement, saya merasa saya juga layak untuk bicara. Banyak sekali para predator seksual di dunia ini, tetapi sedikit sekali mereka yang dihukum atas tindakan mereka. Justru para korban lebih sering dijadikan sebagai pemfitnah. Saya berharap, tidak ada lagi orang yang akan mengalami hal serupa. Hanya ada dua masa depan bagi korban pelecehan seksual, yaitu menjalani hidup dalam trauma atau tumbuh menjadi predator juga. Saya berharap orang-orang menjadi lebih peduli dan waspada akan para predator seksual di sekeliling mereka dan juga membuka mata bahwa insiden-insiden semacam itu kerap terjadi di sekitarnya.

Saya tidak bisa melakukan apa pun dulu maupun sekarang untuk apa yang sudah terjadi kepada diri saya. Tapi, saya berharap tidak seorang pun akan mengalaminya lagi. Jangan lagi. Karena pengalaman itu begitu mengerikan, menakutkan, dan menyakitkan.           

2 komentar:

Dita Safitri mengatakan...

I'm applauding your bravery to tell this painful story. I hope you'll find your strength and stay positive.

OmPiyan mengatakan...

mya fuckin' god ahaha. ini mirip. asli. mirip walaupun tentunya beda cerita karena saya laki2
ikut curcol sekalian ya. jadi saya itu termasuk waktu remaja, orangnya polos sepolos-polosnya.
kejadian waktu saya kelas 1. saya masuk di kelas faforit istilahnya, kebetulan akademis bagus waktu itu soalnya. kejadiannya waktu mendekati ujian semester pertama. karena teman2 saya mulai bercerita kalau mereka punya gebetan, pacar dan lain2. polosnya remaja yang baru puber, pasti juga ingin rasanya punya pacar buat dipamerin ke yang lain. intinya ngga pingin kalah. kebetulan ada anak cewek, beda kelas. dia primadona di angkatan saya, semua orang selalu memuji kecantikannya, tapi apalah daya saya yang bodoh ini, coba mendekati pas dia di kantin, dan ngajak ngobrol. ternyata dia menanggapi, lalu pas istirahat selesai, saya menyempatkan diri untuk minta nomer telponnya. dan ternyata dikasih.
sampai rumah, saya coba sms, dan entahlah, saya yang sangat sangat naif ini, dalam 5 sms saja, saya langsung coba nembak dia untuk jadi pacar. dan kagetnya saya. dia mau.
ok. dari situ, kami pacaran.. karna ya sama, kena full day school, cuma smsan aja tiap hari. bahkan sejak pacaranpun. ngobrol langsung tidak pernah. cuma saya jadi bisa pamer ke yang lain.

and then cuma dalam seminggu, mulai ada rumor yang ngga ngenakin. dan teman sebangku saya tanya ke saya "eh, kamu ngehamilin si ****?" tentunya saya k-geat. "mata lu, ya jelas ngga lah , bisa2nya.. ketemu aja ngga pernah". trus sampai rumah. saya sms, tanya ke pacar (mantan) saya langsung. "lu hamil" dan tanpa basa basi, dia langsung jawab "iya"., trus saya tanya lagi "berapa bulan" dia jawap "2" dan stop, mulai itu juga udah langsung gw hapus nomernya. but,, rumor masih terus menyebar. dan akibat saya yang terlanjur pamerin dia sebagai pacar, walau bukti cuma sms, seisi sekolah mengira saya yang menghamili. wtf, gw cuma anak kelas 1 smp yang masih bau kencur, pipis juga masih bengkok dan pacaran pun baru seminggu tapi hamilnya dia 2 bulan. nggak lama setelah itu. gw dipanggil BK, dia juga sih, dan saya menjelaskan, dia juga menjelaskan, orang tua dia pun datang. dan besoknya. dia keluar sekolah. tapi gw masih tetep lanjut lah, salah juga ngga. tapi. seisi sekolah masih ngira gw yang ngehamilin. gw juga mau njelasin satu-satu ke semua orang ngga bakal nyampe lah. akhirnya gw berasa hidup di pulau terpencil, tanpa teman, tanpa ada satupun yang mau ngajak ngobrol, gw ajak ngobrol juga menghindar. dan 3 tahun gw jalanin itu semua.. ahaha. cuma yang jadi pelampiasan gw ya game sama jadi wibu. dan masalah akademis udah persetan lah

Posting Komentar