Minggu, 02 April 2017

Ayra : My Another Personality?

Ingin sedikit berbicara mengenai diri saya. Bukan narsis, ya. Hanya berbagi cerita saja.
8 Januari 1993, saya lahir di Jombang, Jawa Timur. Orang tua saya menganugerakan nama "Rochmawati Budy Rahayu", yang artinya kurang lebih : Anugerah Tuhan yang Berbudi Pekerti Baik. Nama yang bagus, 'kan? Dan sedari kecil, nama panggilan saya adalah "Ayu", bukan "Ayra".
Kadang, teman-teman sekolah saya yang usil juga memanggil saya "Budi"--kenangan masa lalu yang terasa lucu saat diingat sekarang, padahal dulu bikin jengkel setengah mati.
Saya menghargai nama pemberian orang tua, tapi ketika memutuskan menekuni dunia menulis secara profesional, saya memilih nama pena "Ayra". Pada awalnya, saya memilih nama tersebut karena merasa nama "Ayu" terlalu pasaran, sedangkan nama panjang saya kurang marketable.
Sejujurnya, panggilan "Ayu" membuat saya sakit. Kenapa? Dulu, banyak yang mengatakan--entah serius maupun bercanda--kalau nama panggilan itu tidak cocok untuk saya. Katanya, wajah saya tidak cukup cantik untuk dipanggil "Ayu". Bagi orang lain mungkin sepele, termasuk mereka yang mengucapkannya pada saya. Mereka tidak menyadari bahwa hal kecil seperti itu telah menimbulkan trauma psikologis pada diri saya. Sekian lama, saya selalu berfikir bahwa saya ini jelek dan akhirnya terus merasa rendah diri soal penampilan. That's why, saya juga selalu menolak diajak selfie. Bisa dibilang, saya bagaikan fatamorgana. Ada, tapi tidak meninggalkan jejak, kecuali dalam ingatan--yang dapat terkikis seiring waktu yang terus berjalan.
Ditambah orang-orang sekitar yg mengenal keluarga saya selalu mengatakan bahwa saya tidak mirip dengan kedua kakak perempuan saya--dimana kulit putih & dagu belahnya menjadi standar kecantikan menurut versi mereka. Which is mean that i'm ugly, karena dagu saya nggak belah dan kulit lebih gelap dari kedua kakak saya itu. Padahal, mereka pun tahu, saya dan my older bro lebih mirip ke sosok Bapak, sedangkan kedua kakak perempuan saya cenderung ke Ibu. Gara-gara ejekan itu, saya sempat mati-matian menyesuaikan standar cantik tersebut--dengan mencari cara memutihkan kulit, terutama wajah. How stupid!
Note : tolong bagi yang masih melakukan hal semacam ini pada saudara maupun temannya, segera hentikan. Kalian tidak sadar bahwa mereka bisa terluka sangat dalam.
Pikir saya,"Ayra" hanya sebatas nama populer di dunia menulis saja. Namun, ketika menulis "Karena Cinta Pertama" yang kemudian rilis sbg novel ketiga saya, sekaligus novel Indonesia pertama setelah dua judul sebelumnya berlatar Korea, saya menyadari peran "Ayra" bukanlah sekedar nama. "Ayra" menjelma menjadi kepribadian lain dalam diri saya. Ketika "Ayu" dipenuhi oleh rasa sakit dan segala bentuk emosi negatif, "Ayra" adalah sisi positif serta tameng pelindung dari kepribadian satunya.
Dan saya ingat mulai menggunakan "Ayra" sejak 2012, beberapa bulan setelah terjadi suatu insiden yg sempat mengobrak-abrik hidup saya dan kemudian mengantarkan saya kembali menulis--hobi yang sudah saya tinggalkan hampir 5th lamanya. Rupanya, jauh sebelum menyadari ("Karena Cinta Pertama" ditulis pertengahan 2013), dia telah menjadi tindakan defensif saya ketika menulis kembali menjadi pilihan satu-satunya untuk menyampaikan di saat tidak ada yang mau mendengar.
Sejak 2012 itu pula saya sudah unfriend, unfollow, bahkan memblokir banyak teman di dunia nyata. Fase itu adalah tahap tersulit dalam hidup. Bukan hanya berfikir, tapi saat itu saya sudah beberapa kali mencoba mematikan diri sendiri. Mereka yg berpotensi mengingatkan saya atas peristiwa tersebut, coba saya singkirkan. Jadi, bukan hal aneh ketika di sosmed, saya lebih aktif sebagai "Ayra" dan seolah tidak memiliki kehidupan nyata, karena interaksi yg amat terbatas dgn kenalan dalam realita. Ya, mungkin itu salah satu tindakan pengecut saya. Menghindar. Tapi, bukan karena takut 'mereka' menghancurkan sosok "Ayra", melainkan lelah dengan masa lalu. Karena saya ingin hidup di masa kini dan tidak lagi terpaku pada kenangan lama yg menyakitkan. Walaupun 'mereka' tidak berfikir demikian. 
Kehidupan saya berjalan lancar--dimana saat "Ayu" down, maka "Ayra" mengambil alih sebagai penyelamat. Media utamanya tentu dgn menulis. That's why, th 2015, ketika mulai tidak aktif menulis, goncangan demi goncangan mulai menggoyahkan saya. "Ayra" mulai tergerus oleh "Ayu" dan menjadi sosok pesimistis. Pikiran-pikiran dangkal pun kembali menggelayut. Salah satunya, ingin bunuh diri lagi. Iya, akibat beberapa trauma yang terakumulasi dan saya simpan sendiri. Maaf karena tidak bisa menjelaskan penyebabnya, sebab seluruhnya bukan hal yang dapat saya bicarakan dengan mudah. For sure, problematika itu tidak terbayangkan.
"Ayra" sempat menemukan cara lain untuk bertahan, dengan menjadi subber. "Ayu" selalu mempunyai mimpi terjun di bidang Bahasa Inggris dan "Ayra" tahu itu. Namun, pengalihan itu tidak berlangsung lama. Pertengahan 2015, vakum sebagai subber. Sampai setahun berlalu, saya merasakan fase 'hidup seperti mati'. Saya masih mencari penghiburan di sosmed, tapi bukan memperbaiki suasana hati, lebih sering memperburuknya. Entah dalam rentang waktu tersebut berapa kali saya punya pikiran bunuh diri. Tidak terhitung. Di jejaring sosial, saya menampakkan diri baik-baik saja, dengan kehidupan yang begitu sempurna. Tapi, kenyataannya tidak. Sesaat saya bahagia, sekejap kemudian sedih tidak terkira.
Kemudian, pertengahan 2016, "Ayra" mencoba melakukan perlawanan. Dia kembali membulatkan tekad untuk menulis dengan meluruskan pikirannya. Dulu, targetnya adalah menulis untuk diterbitkan. Namun, tidak lagi. Dia menulis untuk berkisah, membagi isi pikirannya. Juga, comeback sebagai subber. Meski terkadang masih goyah, setidaknya sampai saat ini saya masih bernafas.
Honestly, entah "Ayra" memang kepribadian penjaga yang saya ciptakan, atau hanya angan-angan, saya bersyukur. Karena "Ayra" saya mampu bertahan. Meski masih dalam situasi 'hidup segan mati tak mau', paling tidak sejauh ini saya masih menang. Dari siapa? Diri saya sendiri, dengan semua pemikiran gila tentang mengakhiri kehidupan ini.
Semoga tulisan ini dapat memberi sedikit inspirasi. Untuk sementara, biarlah tetap begini. Cukup saya menunjukkan yang diinginkan, bukan ditekan untuk menampakkan segalanya. Agar saya bisa tetap bernafas sedikit lebih lama.
3 April 2017,
Ayra.

2 komentar:

my future mengatakan...

cara ayra menjadi subber bagaiman sih?

Devi Riyanti mengatakan...

"dia telah menjadi tindakan defensif saya ketika menulis kembali menjadi pilihan satu-satunya untuk menyampaikan di saat tidak ada yang mau mendengar."

Saya suka cara Ayra cerita, berkisah, membagi inspirasi. Baru baca 2 tulisan seperti "eh, bener juga." "kok rasanya pernah begitu ya?".

Soo... Saya baru mulai nulis setelah lama hiatus #lhagayak 😄 but, setiap orang pasti punya masa nadir. Thanks Ayra, inspirasinya. Fightinggg!!

Posting Komentar