Minggu, 12 Februari 2017

Nothin On You--Part 1

I
After All This Time?
“Aku pikir waktu mampu menghapus segalanya tentangmu. Namun, aku salah. Tiba saat aku menyadari bahwa di hatiku masih terukir namamu.”
***
Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 12.45 malam. Aku membuka lemari es, mengeluarkan sebotol air mineral, kemudian duduk di karpet depan TV. Lagi dan lagi. Aku terjaga tengah malam buta. Tidak, tepatnya, aku tersentak dari tidurku akibat mimpi tentang seseorang, hingga kemudian tak dapat kembali terlelap. Awalnya, setahun lalu ketika segalanya dimulai, aku tidak merasa terganggu, terlebih mimpinya selalu indah dan manis. Namun, lambat laun aku merasa risih, gelisah, juga bingung. Apa sebenarnya maksud mimpi berkelanjutan ini?
Kuteguk air di dalam botol hingga tandas. Kepalaku berdenyut-denyut. Masa aku harus mengonsumsi pil pereda sakit kepala lagi? Aku jadi semakin bergantung pada obat itu, menimbulkan kecemasan lain dalam diriku. Bukankah adiktif terhadap obat-obatan cukup berbahaya?

Sebenarnya, mimpi itu pertanda atau apa? Aku dan sosok yang terus muncul dalam mimpiku itu sudah lama tidak saling berkomunikasi, apalagi bertemu. Terakhir sepuluh tahun lalu, itupun secara tidak sengaja. Aku juga tidak merasa pernah memikirkan dia, terlebih sebelum tidur, sampai-sampai memungkinkan aku memimpikan tentangnya. Lalu, kenapa?
Di tengah kerisauan, aku mendengar dering nyaring ponselku yang masih ada di kamar tidur. Kutinggalkan botol kosong di ruang TV dan bergegas masuk untuk memeriksa telepon genggamku. Siapa yang menelepon dini hari begini?
Di layar, hanya tertera “private number”. Telepon iseng? Atau seseorang yang lupa mengaktifkan fitur penunjuk nomor ponselnya setelah sengaja mengganggu seseorang? Aku kenal seseorang seperti itu, yang kerap mengganggu mantan kekasihnya menggunakan nomor rahasia. Sepupuku.
Siapa pun itu, aku putuskan untuk mengabaikannya. Salah sendiri menelepon dengan nomor rahasia begitu. Orang gila mana yang akan merespon panggilan seperti itu tengah malam buta begini?
Penelepon misterius itu tidak menyerah meski sudah panggilan ketiga tetap kuabaikan. Semula, aku hanya mengaktifkan mode diam agar tidak perlu mendengar deringnya. Namun, pada telepon keempat, aku merasa kesal dan menonaktifkan paksa ponselku.
Untuk menenangkan diri, aku beranjak menuju rak buku di pojok selatan kamar dan mengambil salah satu judul yang baru kubeli kemarin, belum sempat kubaca. Sejak dihantui mimpi mengenai orang itu, aku lebih sering membeli buku atau puzzle yang kugunakan menanti pagi tiba. Terkadang juga kudapat dari hadiah orang-orang terdekat. Namun, mereka hanya berpikir aku mengoleksi karena suka, tanpa tahu fungsi sesungguhnya sebagai pengalih perhatian. Tidak masalah, karena aku juga tak suka menjelaskan apa-apa.
***
“Kamu begadang lagi, ya?”
Juno, atasanku, langsung berkicau kala aku baru masuk ke dalam ruang praktek. Orang lain menyebut klinik ini sebagai tempat kerja, tapi aku menganggapnya neraka. Ini semua karena cowok menjengkelkan itu yang dulu merupakan seniorku saat kuliah. Ketika lulus, aku langsung mendapat tawaran kerja di sini, dengan gaji yang tergolong di atas rata-rata. Tentu saja, tanpa pikir panjang aku menerimanya. Pekerjaan begitu susah didapat, namun aku justru mendapat penawaran bagus ketika menjelang kelulusan. Kenapa tidak!?
Meski kemudian, keputusan itu membuatku menyumpah serapah saat tahu bahwa aku menjadi asisten Juno. Sialnya, aku terlanjur menandatangani kontrak kerja selama tiga tahun. Jika aku mundur sebelum kontrak selesai, aku harus membayar penalti sepuluh kali lipat dari nilai kontrak. Tahun ini adalah periode terakhir. Aku hanya perlu menahan diri sampai pertengahan tahun dan ujian ini akan berakhir. Demi apa pun, tidak akan aku memperbaharui kontrak di sini meski diberi iming-iming kenaikan gaji berkali lipat.
“Bukan urusanmu!” Aku menjawab ketus sambil meletakkan tasku di dalam loker enam pintu yang ada di salah satu sudut ruangan.
“Pantesan kamu nggak laku-laku! Judes banget gitu. Dengar, ya! Cowok nggak suka sama perempuan jutek,” celotehnya.
Aku tidak menanggapi ocehan lelaki bergelar Dokter Gigi itu. Tidak ada gunanya. Kami hanya akan bertengkar hebat. Padahal, di sini tempat kerja. Hampir tiga tahun, aku harus tahan menghadapi sikap kekanakan Juno. Dia selalu saja meributkan segala sesuatu, bahkan hal remeh sekalipun. Satu-satunya nilai positifnya adalah dia memang cakap dalam bekerja.
Daripada meladeni tingkah kepo-nya, aku memilih menyeterilkan alat-alat yang akan dipakai. Tugasku sebagai Perawat Gigi selain menjadi asisten dokter saat merawat pasien juga mengurus arsip : menyiapkan dan menyimpan rekam medis pasien serta membuat laporan rutin sebagai bahan rapat bulanan atau tahunan, lalu menangani peralatan praktek : mencuci - menyeterilkan - menata di dental kabinet - kemudian memersiapkannya lagi saat praktek akan dimulai, terakhir adalah mendata bahan-bahan yang hampir habis atau alat-alat yang perlu diganti.
Yaela... mestinya kamu berterima kasih karena sudah aku beri nasehat. Ck, mau kamu jadi perawan tua?” cerocosnya lagi.
Wajar tidak sih kalau aku meragukan dia itu laki-laki tulen? Setiap kali bicara, kata-katanya sepedas cabai rawit! Perempuan saja kalah nyinyir dari dia. Tapi, kalau kuperhatikan, dia hanya bertingkah seperti itu padaku. Di depan orang lain, contohnya staf-staf klinik, dia selalu bersikap sok cool dengan irit bicara. Memang aku pernah punya salah yang tidak termaafkan sampai dia bersikap begitu padaku?
Aku masih membisu. Biarlah dia bicara sesuka hatinya. Kalau lelah juga berhenti sendiri. Anggap saja angin lalu. Lagi pula, buat apa meladeni orang yang lupa berkaca seperti dia? Dia mengolokku, memang sendirinya punya kekasih!?
Suara ketukan di pintu memecah keheninganku. Tampak Novi, salah satu pegawai magang di bagian resepsionis, membawa sesuatu berbungkus kertas kado di tangannya.
“Permisi,” sapanya.
“Masuk!” Dave mempersilakan dengan intonasi berwibawa.
Lihat! Lihat! Jika ada orang lain, dia tiba-tiba berubah, ‘kan!? Dasar Bunglon! Manusia bertopeng! Manusia Rubah!
Novi masuk ke dalam dan menghampiriku. Apa barang yang dibawanya itu ditujukan padaku?
“Ini ada paket untuk Mbak Ayra. Tadi dititipkan di meja resepsionis,” ujarnya.
Aku mengernyitkan kening penuh tanya, tapi tak urung menerimanya juga.
“Dari siapa?” tanyaku. Sebab, hanya tertera penerima di bungkusnya, tidak ada nama pengirim.
Novi menggeleng. “Tidak tahu, Mbak. Kurirnya tidak bilang apa-apa selain paket ini untuk Mbak.”
Sebelumnya mimpi aneh berturut-turut, lalu penelepon misterius, sekarang? Paket tanpa nama? Apa-apaan? Seseorang sedang menerorku?
“Kurirnya masih di luar?”
Sekali lagi Novi menggeleng. “Langsung pergi, Mbak. Memang kenapa? Ada masalah dengan paketnya?”
“Oh? Tidak, kok. Terima kasih, ya.”
“Sama-sama. Permisi.”
Novi pun meninggalkan ruangan. Aku duduk di mejaku dan membuka kiriman itu. Sekilas aku melirik Juno. Aneh. Dia sibuk dengan ponselnya. Padahal biasanya dia pasti sudah usil ingin tahu. Seperti saat aku menerima kiriman paket kemarin-kemarin, sebab aku memang selalu mengalamatkan pengiriman paket ke tempat kerja sebagai antisipasi tidak ada yang menerima kalau aku sedang tidak di rumah, karena aku tinggal sendirian.
Terserahlah. Bagus kalau dia sudah tidak suka ikut campur urusanku lagi.
Saat bungkusnya sudah terbuka sempurna, aku mendapati sebuah kotak persegi bergambar kotak musik berbentuk piano. Aku mengeluarkan isinya, sama persis seperti wadah pembungkusnya. Dan, ada sesuatu semacam kartu ucapan berwarna biru juga. Aku memeriksanya.
“Salah satu yang seharusnya aku berikan bertahun-tahun lalu.”
= Rivalmu =
Aku terperangah. Rivalku? Hanya ada satu orang yang kusebut seperti itu. Dia, sosok yang muncul dalam mimpiku selama setahun belakangan ini. Yoga.
Kotak musik ini... benar-benar hadiah darinya? Lalu, penelepon misterius itu, mungkinkah juga dia? Tapi, bagaimana dengan mimpi itu? Tidak mungkin dia bisa merekayasa hal tersebut juga, ‘kan? Setelah bertahun-tahun, kenapa sekarang?
Tiba-tiba aku merasakan nyeri di dadaku. Kenapa? Ada apa ini? Perih yang sama ketika pertemuan terakhirku dengan Yoga, sepuluh tahun lalu. Saat aku memutuskan mengubur segala sesuatu tentangnya. Kupikir, waktu yang berlalu selama ini akan menyembuhnya segala lukaku tentang dirinya. Rupanya, aku hanya berpura-pura belaka.
Rasanya, aku tidak mungkin lanjut bekerja dalam keadaan syok begini. Aku membereskan mejaku, kemudian memberanikan diri ijin pada Juno.
“Maaf,” kataku memulai pembicaraan.
“Ada apa?” respon Juno.
Tapi... kenapa dia bereaksi dengan lembut? Masa bodohlah!
Ung, aku minta maaf. Sepertinya aku harus ijin pulang lebih awal.”
“Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali,” balasnya... cemas!?
“Ti... tidak. Aku baik-baik saja. Hanya, terjadi sesuatu.”
Di luar dugaan, dia tidak tampak bermaksud mempersulitku.
“Jangan pulang sendiri! Di depan klinik banyak ojek, kan? Naik ojek saja. Motormu tinggal saja di sini. Oke? Kecuali kamu setuju, aku tidak akan mengijinkanmu pulang.”
Tidak sulit. Aku langsung mengangguk. Dia menyodorkan tangannya.
“Mana kunci motormu? Biar kubawa. Aku tidak percaya padamu. Pokoknya kamu harus naik ojek.”
Daripada buang waktu, aku berikan saja kunci motorku padanya. Lagi pula, aku memang tidak berniat pulang mengendarai motorku. Dalam kondisi seperti ini, bisa membahayakan diriku sendiri dan pengendara lain.
“Langsung pulang! Istirahat! Jangan sampai kamu keluyuran.”
“Iya,” sahutku sambil lalu.
***
Aku berbaring di ranjang sambil memandangi kotak musik dari sosok yang mengaku sebagai Yoga. Apa dia ada di kota ini? Mungkinkah dia sendiri yang mengantarkan benda itu dan menitipkannya di resepsionis? Tidak mungkin. Yoga yang kukenal bukan sosok yang manis. Kotak musik? Ck! Cowok dingin seperti dia? Mustahil!
Tapi, kalau memang bukan dia, lalu siapa? Kisah antara aku dan Yoga hanya diketahui teman-teman satu sekolah kami semasa SMP dulu. Mungkinkah salah seorang teman kami itu menjahiliku dengan memanfaatkan nama Yoga? Apa untungnya?
Lili! Daripada penasaran, sebaiknya aku tanya saja Lili, sahabatku sejak SMP. Dia masih sering ikut reuni SMP, mungkin dia tahu kabar Yoga. Aku hanya ingin memastikan kebenaran pengirim kotak musik itu.
Aku meraih ponselku dan menghubungi nomor ponsel Lili. Baru juga terdengar nada sambung sekali, bel pintu rumah berbunyi. Aku membatalkan sambungan telepon ke Lili dan keluar menuju pintu depan. Di ruang tengah, aku sempat melihat jam dinding menunjukkan pukul 20.30 malam. Siapa yang bertamu malam-malam begini?
Pelan-pelan, aku menyibak sedikit ujung tirai jendela dan mengintip keluar. Waspada itu perlu, terlebih aku tinggal sendiri. Meskipun perumahan tempat aku tinggal ini memakai one gate system dimana orang asing perlu melapor dulu pada satpam sebelum diijinkan masuk ke lingkungan, tetap saja aku harus mawas diri.
Ketika mengetahui sosok yang menunggu di depan pintu, aku sukses melongo. Beberapa kali aku mengucek kedua mataku untuk memastikan penglihatanku tidak salah. Hasilnya tetap sama. Atau... aku mulai berhalusinasi, ya? Aku mencubit pipiku. Sakit! Berarti ini realita. Tamu itu tidak lain adalah Juno. Si dokter songong.
Buka tidak, ya? Tahu darimana dia kalau aku tinggal di sini? Jangan-jangan... dia menguntitku, ya? Hiiii....
Untungnya, aku masih punya sopan santun. Kata Ibuku, kalau ada orang yang datang bertamu, harus disambut sebaik mungkin. Kalau kuabaikan, bisa-bisa Juno mengejek aku tidak pernah diajari tata krama. Baiklah, aku terima saja kedatangannya.
“Kamu sudah tidur, ya? Aku datang kemalaman, ya? Maaf, aku harus menunggu sampai jam operasional klinik selesai,” paparnya.
Alisku beradu. Bingung. Kenapa sejak di klinik tadi sikapnya berbeda sekali? Nada bicaranya lembut. Padahal biasanya provokatif. Dia salah makan?
“Kamu tinggal sendirian, ‘kan? Kita duduk di luar saja kalau begitu. Takut jadi omongan tetangga,” sambungnya.
Aku mengiyakan saja. Kami duduk di bangku kayu panjang di teras. Juno menyodorkan keresek hitam yang sedari tadi ditentengnya.
“Belum makan malam, ‘kan? Ini martabak langganan kamu.”
Aku semakin tidak mengerti. Memang dia tahu martabak langgananku? Tapi, saat kubuka, nama outlet yang tertera benar dari tempat biasa aku membeli martabak. Bagaimana bisa?
Ung... terima kasih. Kita makan bersama saja kalau begitu. Sebentar. Aku ambilkan minum dulu. Mau minum apa?” tawarku.
“Air putih saja.”
Aku mengangguk dan masuk sebentar ke dalam. Setelah mengambil dua botol air mineral dari kulkas, aku membawanya ke teras. Kuberikan sebotol untuk Juno.
“Sudah baikan?” tanyanya.
Um... lumayan.”
“Baguslah kalau begitu.”
Tiba-tiba, dia bangkit dari bangku.
“Airnya aku bawa boleh, ‘kan? Aku pulang dulu. Sudah malam, nggak enak sama tetangga. Kamu habiskan martabaknya. Besok kalau memang mau masuk kerja, aku jemput saja, nggak usah naik ojek.”
Belum sempat aku menanggapi, Juno berjalan cepat ke arah motornya yang terparkir di teras rumah. Aku tidak punya kesempatan menanyakan apa pun.
“Terima kasih,” seruku sambil mengangkat boks martabak yang dia bawakan.
Juno mengangguk singkat, kemudian melajukan motornya pergi. Aku pun masuk ke dalam rumah dengan pertanyaan yang belum terjawab.
== To Be Continued ==
Note : Cerita ini saya tulis memakai aplikasi Blogger Android, bukan lewat Word. Jadi tidak sempat mengatur layout, spacing, dkk. Mohon masukan, baik berupa kritik maupun saran.
Rencananya, akan terus diupdate via Blog sampai tamat. Baru kemudian ditata dan disatukan untuk dikirim ke penerbit. Ditunggu komentarnya. Terima kasih.
-- Ayra --


2 komentar:

Novye sparkyu mengatakan...

Aku suka ceritanya baru awal sudah berkesan. Tulisannya rapi jadi mudah dipahami. Tapi, Kok aku nemu nama dave, ya? Typo, kah?

Writer Ayra mengatakan...

Hihihi... iya, itu typo. Thank ya udah baca, ngasih koreksi, plus komennya.

Posting Komentar